PEMBAHASAN ANTIINFLAMASI

Percobaan pengujian efek inflamasi ini bertujuan untuk mengetahui besarnya efektivitas obat antiinflamasi dapat menghambat udem pada hewan percobaan yang telah diinduksi oleh karagenan. Sesuai dengan tujuan percobaan, prinsip dasar yang melandasi percobaan ini adalah dengan penyuntikan obat uji secara subkutan pada telapak kaki belakang tikus putih menyebabkan udem yang dapat diinhibisi oleh obat antiinflamasi (aspirin dan piroksikam) yang telah diberikan sebelumnya. Volume udem yang terjadi diukur dengan alat plethysmometer dan dibandingkan terhadap volume udem yang tidak diberikan obat (kelompok kontrol dengan PGA). Aktivitas obat antiinflamasi dinilai dari persentase proteksi yang diberikan terhadap pengukuran udem.

Secara prosedural, tahapan-tahapan yang dilakukan dalam percobaan ini akan dibahas lebih lanjut. Pertama-tama, sebelum percobaan dimulai, masing-masing tikus dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok kontrol (PGA), kelompok uji 1 (aspirin), dan kelompok uji 2 (piroksikam). Tikus kemudian ditimbang bobot badannya menggunakan timbangan hewan dan diberikan tanda pengenal pada bagian ekor berupa urutan agar mudah untuk diklasifikasikan dan dibedakan. Selain itu, pada kaki belakang bagian kiri diberikan tanda batas untuk setiap tikus dengan spidol, agar pemasukan kaki ke dalam air raksa setiap kali selalu sama, sehingga analisis data yang dilakukan lebih akurat dan sebagai batas masuknya kaki ke dalam air raksa. Hewan yang digunakan dalam percobaan ini adalah tikus karena tikus memiliki luas permukaan kaki yang lebih besar dibanding mencit, sehingga akan mempermudah pengukuran dan mudah disuntik secara subplantar, sedangkan jika digunakan mencit, kaki mencit harus dipotong tiap kali uji. Selain itu, tikus lebih resisten terhadap infeksi, sehingga dapat diketahui obat uji yang berperan dalam efek antiinflamasi. Menurut literatur penggunaan tikus sebagai hewan uji mempunyai keunggulan, antara lain: banyak gen-nya tikus relatif mirip dengan manusia, sehingga jika pengujian dilakukan pada manusia, akan memberikan hasil yang sama. Kemampuan berkembang biak tikus sangat tinggi, relatif cocok untuk digunakan dalam eksperimen massal. Tipe bentuk badan tikus kecil, mudah dipelihara dan obat yang digunakan di badannya dapat relatif cepat termanifestasi, sehingga efek yang dihasilkan dapat diteliti dan memiliki akurasi yang tinggi.

Setelah proses ini, kaki belakang tikus dimasukkan sampai tanda batas ke dalam air raksa yang telah diberi cairan metilen blue agar memudahkan dalam membaca volume yang tersambung dengan alat plethysmometer. Kenaikan volume air raksa yang terbaca pada alat dicatat dan dinyatakan sebagai volume dasar, kenaikan volume air raksa diperoleh dari hasil pengurangan volume air raksa setelah dimasukkan kaki tikus dan sebelum dimasukkan kaki tikus. Pada proses ini diusahakan agar air raksa tidak tumpah karena akan mempengaruhi proses pembacaan volume air raksa. Selain itu, air raksa jangan terlalu kontak dengan kulit, karena air raksa termasuk logam berat yang bisa merusak jaringan atau pigmen kulit, jadi proses yang dilakukan harus hati-hati. Pengukuran volume ini menggunakan air raksa sebagai cairannya karena air raksa memiliki sifat yang sensitif jika ada pergerakan atau sedikit guncangan, sehingga akurasi data dapat tercapai. Selain itu, air raksa memiliki sifat kohesi yang besar sehingga tidak menempel pada kulit kaki tikus, semua kelebihan air raksa ini diharapkan dapat meningkatkan keakuratan pembacaan volume pada alat.

Tahapan selanjutnya, tikus diberikan larutan control berupa PGA pada tikus 1, larutan aspirin pada tikus 2, dan larutan piroksikam pada tikus 3 secara peroral dengan menggunakan sonde khusus untuk tikus yang lebih besar dibandingkan sonde untuk mencit. Tikus didiamkan selama satu jam untuk mendistribusikan larutan control dan uji ke sel target. Larutan aspirin dan piroksikam berperan sebagai larutan uji 1 dan uji 2 yang berperan sebagai obat antiinflamasi.

Mekanisme radang diawali dari terjadi kerusakan membrane sel akibat rangsangan mekanis, kimia dan fisika kemudian menuju fosfolipida (membrane sel) terdapat enzim fosfolipase yang akan mengeluarkan asam arakidonat. Dengan adanya enzim siklooksigensae maka asam arakidonat akan dirubah menjadi prostaglandin. Siklooksigenase mensintesa siklik endoperoksida yang akan dibagi menjadi dua produk COX 1 dan COX 2. COX 1 berisi tromboksan ,protasiklik (yang dapat menghambat produksi asam lambung yang berfungsi untuk melindugi mukosa lambung). COX 2 (asam meloksikam) berisi prostaglandin (penyebab peradangan). Sedangkan lipooksigenase akan mengubah asam hidroperoksida yang merupakan precursor leukotrien LTA (senyawa yang dijumpai pada keadaan antifilaksis) kemudian memproduksi LBT 4 (penyebab peradangan) dan LTC4,LTD4 dan LTE4.

Ciri- ciri terjadinya radang adanya rubor (rasa nyeri), kalor (panas), dolor (kemerahan), tumor (bengkak) dan adanya keterbatasan gerak yang akan menjadi semakin parah apabila tidak segera diobati. Obat antiradang dibagi menjadi steroid dan nonsteroid. Pengunaaan obat nonsteroid lebih dianjurkan untuk radang ringan baru setelah tidak ada penurunan digunakan obat steroid. Efek samping dari obat nonsteroid adalah dapat meningkatkan asam lambung oleh karena itu diberikan setelah makan. Efek samping dari obat steroid lebih berbahaya dari nonsteroid karena menyebabkan cushing (tensi cairan yang berlebih), osteoporosis, menghambat pertumbuhan, immunosukresif dan moonface pada wajah,terjadi lisis karbohidrat dan trigliserida yang menyebabkan hiperglikemia sehingga kadar insulin meningkat.

Dari percobaan ini, dapat dihitung persentasi inhibisi radang yang dihasilkan dari inflamasi terhadap kelompok tikus uji dosis 1 (Aspirin) sebesar 72,84% dan dosis uji 2 (Piroksikam) sebesar 72,06 %. Persentase inhibisi radang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

% inhibisi=(% radang kontrol- % obat)/(% radang kontrol) ×100%

Pada kelompok uji aspirin dan piroksikam, terlihat bahwa obat antiinflamasi memberikan efek dengan menginhibisi peradangan yang timbul pada telapak kaki tikus. Efek yang diberikan oleh obat antiinflamasi berupa inhibisi peradangan terhadap kedua kelompok uji tikus tersebut dapat dihitung dengan menghitung persentasi inhibisi radang. Jika dibandingkan kedua kelompok uji, yaitu aspirin dan piroksikam dalam hal menginhibisi terjadi inflamasi, maka aspirin memiliki efek antiinflamasi lebih efektif dibandingkan dengan piroksikam karena nilai persentasi radang aspirin (72,84%) lebih besar dibandingkan dengan piroksikam (72,06 %).

Silahkan tinggalkan pesan dan saran yang hendak Anda kirimkan ^_^